Tiga Lelaki Berjiwa Malaikat

Malam hari Raya Idul Fitri telah tiba. Kota Damaskus terbenderang oleh cahaya lampu beraneka warna. Takbir bergemuruh terdengar membahana.

Dalam sebuah rumah sederhana, seorang wanita berjilbab putih, berkata pada suaminya, “Abu Abdillah suamiku, besok hari raya. Anak kita tidak memiliki pakaian baru seperti anak-anak tetangga lainnya. Ini semua disebabkan tindakan borosmu!”

“Aku tidak boros,aku hanya menginfakkan hartakudalam kebaikan dan demi membantu orang-orang miskin yang memutuhkan. Ini bukan suatu pemborosan, Ummu Abdillah,” jawab sang suami.

“Baiklah, kumohon sekarang, tulislah surat dan kirim kepada salah seorang sahabatmu yang baik hati dan ikhlas, agar mereka menyisihkan sebagian hartanya kepada kita. Jika keadaan kita membaik, insya Allah akan kita ganti.”



Abu Abdillah memiliki dua teman karib yang berhati ikhlas. Mereka bernama Hamdi dan Usamah. Mendengar permintaan istrinya itu, dia segera menulis surat. Lalu, dia memberikan surat itu kepada pembantunya agar membawanya ke tempat sahabatnya, Hamdi. Kemudian, pembantunya itu pergi ke tempat Hamdi dan menyerahkan surat yang ditulis tuannya.

Hamdi membacanya dengan seksama. Dia segera tahu bahwa sahabatnya yang pemurah sedang dalam kesempitan dan kesusahan karena tidak memiliki apa-apa.

Hamdi berkata kepada utusan Abu Abdillah, “Aku tahu tuanmu telah menginfakkan semua hartanya dalam kebaika. Ambilah kantong ini dan katakan kepada tuanmu, hanya ini harta yang aku miliki pada malam hari raya ini.”

Pembantu Abu Abdillah bergegas kembali kepada tuannya dan menyerahkan kantong pemberian Hamdi itu. Abu Abdillah membuka kantong itu. Ternyata, isinya uang seratus dinar.

Dia berkata pada istrinya dengan penuh gembira, “Ummu Abdillah, lihat ini, Allah telah mengantarkan seratus dinar kepada kita.”

Sang istri pun gembira dan berkata pada suaminya, “Cepatlah pergi ke pasar untuk membelikan pakaian dan sandal baru untuk anak-anak kita. Juga jangan lupa membeli daging dan makanan.”

Pada saat Abu Abdillah bersiap-siap hendak pergi ke pasar, terdengar seorang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Ternyata, yang datang adalah pembantu Usamah, sahabatnya. Pembantu Usamah itu daang dengan membawa surat minta pertolongan kepada Abu Abdillah agar dia berkenan meminjami uang untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo. Tanpa berpikir panjang, Abu Abdillah langsung meyerahkan kantong berisi uang seratus dinar yang ada ditangannya, kepada pembantu Usamah. Dia meyerahkan semuanya, tanpa mengambil satu dinar pun.

“Katakan pada Usamah taunmu. Segera lunasi hutangnya malam ini juga,” pesan Abu Abdillah pada pembantu itu.

Mengetahui hal itu, terang saja Ummu Abdillah marah kepada Abu Abdillah yang lebih mementingkan sahabatnya dari pada anak-anaknya.

“Kau ini tega melihat anak kita bersedih dan kelaparan. Kalau pun kau mau membantu Usaah, mengapa tidak setengah dari uang itu saja? Mengapa kau berikan semuanya?” ucap Ummu Abdillah sewot.

Sang suami menjawab, “Temanku meminta pertolonganku, bagaimana mungkin aku tidak memberinya? Aku juga tidak tahu apakah uang dalam kantong itu cukup atau tidak untuk melunasi hutangnya atau tidak?”

Ummu Abdillah terdiam dan beristighfar utnuk meredam kejengkalannya kepada suaminya yang teralu baik kepda orang lain itu.

***

Bebera jam kemudian, terdengar orang mengetuk pintu. Abu Abdillah mengetuk pintu. Dia kaget bukan kepalang. Ternyata, yang datang adalah sahabatnya, Hamdi. Serta merta dia memeluk dan menyambut dengat hangat, lalu mempersilahkannya masuk.

Setelah duduk, Hamdi berkata, “Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang kantong ini. Apakah ini kantong yang aku kirim kepadamu dan di dalamnya ada seratus dinar?”

Dengan nada kaget, dia berkata, “Ya..ya…benar…ini adalah kantong itu. Ceritakanlah kepadaku, Hamdi, bagaimana kantong ini bisa kembali lagi kepadamu?”

Hamdi lalu bercerita, “Ketika pembantumu datang kepadaku membawa suratmu. Aku berikan kantong itu, dan itu adalah satu-satunya harta yang aku punya. Karena aku tidak punya apa-apa lagi, maka aku langsung minta bantuan pada Usamah. Betapa terkejutnya aku ketika Usamah memberikan kantong berisi seratus dirham, yang tidak lain adalah kantong yang aku kirimkan kepadamu tanpa kurang satu dinarpun. Aku takjub, untuk lebih yakin, aku bertanya padamu, benarkah ini kantong yang aku kirimkan kepadamu? Untuk itu, aku datang kesini untuk menguak rahasia ini.”

Abu Abdillah tertawa dan berkata, “Usamah yang telah mengutamakan kamu daripada dirinya, dan memberikan kantong itu, sebagaimana kamu lebih mengutamakan diriku daripada dirimu sendiri, Hamdi.”

“Dan kamu lebih mengutamakan Usamah atas dirimu dan keluargamu. Apa pendapatmu, Abu Abdillah, jika kita bagi uang ini bertiga?” kata Hamdi sambil tersenyum.

Abu Abdillah menjawab, “Barakallah fika, semoga Allah memberkahimu, Hamdi.”

Akhirnya, uang seratus dinat itu dibagi tiga.

***

Kisah keluhuran budi ketiga lelaki itu, didengar oleh Khalifah. Subhanallah, sang Khalifah pun sangat tersentuh ketika mendengarnya.ternyata, masih ada diantara umat Nabi Muhammad saw yang berjiwa mulia, laksana malaikat. Khalifah langsung memberi perintah kepada bendahara negara untuk memberi hadiah kepada ketiga lelaki berjiwa malaikat itu, masing-masing sebesar sepuluh ribu dinar.

Begitu menerima uang dari Khalifah, Abu Abdillah langsung sujud syukur lalu menemui istrinya dengan muka berseri-seri, “Ummi Abdillah, sekarang lihatlah, apa pendapatmu, apakah Allah menelamtarkan kita?”

Sang istri menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Tidak suamiku. Demi Allah, Dia Maha Pemurah, Dia tidak mungkin menelantarkan kita. Bajkan, Dialah yang melimpahkan rezeki-Nya kepada kita, dengan tiada putusnya.”

“Sekarang kau tahu, istriku….bahwa menginfakkan harta di jalan Allah adalah bisnis yang pasti menguntungkan dan tidak akan rugi selamanya.”

Diambil dari novel Ketika Cinta Berbuah Surga, pengarang Habiburrahman El Shirazy

No comment »
Gadis Cerdas, Gadis Impian

November 7, 2008 · Filed under Hikmah

Ada seorang pemuda arab yang tampan, shalih, dan sangat cerdas. Dia ingin menikah dengan gadis yang shalihah dan cerdas seperti dirinya. Maka, mulailah dia mengembara dari satu kabilah ke kabilah lain, untuk mencari gadis impian.

Suatu ketika, dia berjalan menuju kabilah di Yaman. Di tengah perjalanan, dia berjumpa dengan seorang lelaki. Akhirnya, dia berjalan bersama lelaki itu.

Pemuda itu menyapa, “Hai Tuan, apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?”

Sponta lelaku itu menjawab, “Hai bodoh, kau ini bagaimana? Aku menunggang kuda dan kau juga menunggang kuda. Bagaimana kita bisa saling membawa?”

Pemuda itu diam saja mendengar jawaban lelaki itu.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka melewati sebuah kampung. Kampung itu dikelilingi oleh kebun yang sudah tiba masa panennya.

Pemuda itu bertanya, “Menurutmu, buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya, atau belum, ya?”

Seketika, lelaki itu menjawab, “pertanyaan itu aneh sekali! Kamu sendiri melihat dengan mata dan kepalamu, buah-buahan itu masih ada di pohonnya dan belum dipanen, kok kamu bertanya, apakah buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?”

Pemuda itu hanya diam dan tidak menjawab perkataan lelaki itu.

Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Baru sebentar berjalan mereka bertemu dengan orang-orang yang sedang mengiring jenazah.

Pemuda itu berkata, “Menurutmu, yang diiring dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati, ya?”

Lelaki itu menjawab, “Aku semakin tidak paham denganmu. Aku tidak pernah menemukan pemuda yang lebih bodoh darimu. Ya, jelas! Jenazah itu akan dibawa untuk dikuburkan. Tentu dia sudah mati.”

Pemuda itu kembali diam dan tidak menjawab sepatah kata pun atas komentar lelaki itu. Akhirnya, keduanya sampai di rumah lelaki itu. Dia mengajak pemuda itu untuk menginap di rumahnya. Dia merasa kasihan, sebab pemuda itu terlihat sudah sangat letih.

Lelaki itu memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik.

Begitu tahu ada seorang tamu menginap, anak gadisnya itu bertanya, “Ayah, siapa dia?”

“Dia pemuda paling bodoh yang pernah aku temukan,” jawab ayahnya.

Anak gadisnya itu malah penasaran. Dia mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Bodoh bagaimana?”

Ayahnya langsung menceritakan awal pertemuannya dengan pemuda itu dan segala perkataan serta pertanyaannya.

Mendengar cerita ayahnya, anak gadis itu berkata, “Ayah ini bagaimana? Dia tidak bodoh. Justru dia sangat cerdas dan pandai. Kata-katanya mengandung makna tersirat. Ketika dia mengatakan, ‘Apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?”, sebenarnya maksudnya adalah, ‘Apakah kita bisa saling berbincang-bincang sehingga bisa membawa kita pada suasana yang lebih akrab?’ ketika dia mengatakan, ‘Buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?’ Ia memaksudkan, ‘Apakah pemiliknya sudah menjualnya, ketika sebelum panen, atau belum?’ Sebab, jika telah menjualnya, pemiliknya tentu menerima uangnya dan membelanjakannya untuk makan dia dan keluarganya. Kemudian dia bertanya, ‘Apakah jenazah di dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati?’ Maksudnya, ‘Apakah jenazah itu memiliki anak yang bisa melanjutkan perjuangannya atau tidak?’

Setelah mendengar apa yang dikatakan putrinya, lelaki itu keluar menemui pemuda itu. Dia meminta maaf atas perkataannya yang membodoh-bodohkan pemuda itu. Keduanya lalu berbincang-bincang.

Lelaki itu berkata, “Sekerang aku baru tahu apa maksud pertanyaan-pertanyaanmu dalam perjalanan tadi.”

Lalu, dia menjelaskan seperti yang dikatakan putrinya.

Mendengar itu, sang pemuda bertanya, “Saya yakin itu bukan lahir dari pikiranmu sendiri dan bukan perkataanmu, demi Allah, katakanlah padaku siapa yang mengatakannya?”

“Yang mengatakan hal itu adalah putriku,” jawab lelaki itu.

Spontan pemuda itu berkata,” Apakah kau mau menikahkan aku dengan putrimu?”

“Ya.”

Begitulah, setelah melalui pengembaraan panjang, akhirnya pemuda itu menemukan pendamping hidup yang dia impikan.

Diambil dari novel Ketika Cinta Berbuah Surga, pengarang Habiburrahman El Shirazy